Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Judul Buku : Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

Nama Penulis : Tere Liye

Penulis : Tere Liye

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit : 2018

Halaman : 264 halaman

ISBN : 9786020331607


 

     Berawal dari Tania dan Dede yang hidup damai dan juga tercukupi. Ayahnya yang bekerja sebagai seorang kuli. Tania yang dulunya tinggal di sebuah kontrakan namun harus kandas karena ayahnya meninggal akibat TBC. Semenjak itu ibu bekerja serabutan untuk memenuhi kehidupan anak – anaknya, namun nasib berkata lain , ibu mempunyai penyakit, namun penyakit tersebut berasal dari beban yang ia pikirkan, sehingga ibu berhenti bekerja dan terpaksa Tania berhenti sekolah, ya ia berhenti sekolah untuk melanjutkan keberlangsungan hidup.

    Tania dan Dede mencari sesuap nasi dengan cara mengamen ke bus, dari satu rute, ke rute yang lainnya. Ia mengulangi hal tersebut setiap hari selama tiga tahun. Terkadang Tania juga merasakan bahwa Dede suka membuat mereka membuat menghabiskan uang yang lebih dari seharusnya, namun bagaimana lagi, Tania tidak bisa membujuk Dede dan terpaksa mewujudkan keinginan Dede. Disisi lain Tania juga merasa bahwa uang tersebut harus digunakan untuk makan ibunya, namun ibu mereka tidak pernah marah jika mereka membawa uang yang kurang. Ibu mereka tetap menyambut mereka dengan senyum dan menerima apa adanya.

    Tania awalnya merasa kesal jika melihat bus metromini berisi anak – anak yang ingin menuju sekolah. Ia kesal karena takdir tidak adil dengannya, harusnya ia yang bisa sekolah Bersama dengan anak seumurnya, namun ia harus mengemban tanggung jawab yang tak seharusnya dikerjakan sekarang. Namun setelah enam bulan berlalu, ia akhirnya tidak pernah memikirkan hal tersebut, karena yang ia pikirkan hanyalah sekedar mencari uang untuk memenuhi kebutuhan perutnya.

       Hingga pada saat ia mangkal di suatu terminal, ia mendapatkan musibah yaitu ia diminta uang oleh preman-preman terminal. Mereka pulang dalam kondisi yang sangat teruk dan tidak membawa uang sepeserpun, sesampainya di rumah ibu pun menyatakan bahwa mungkin hal tersebut bukan rezekinya.

      Namun Tania tetap mengulang rute tersebut, ia tetap di rute tersebut karena merasa bahwa rute tersebut tidak terlalu ramai sehingga bisa leluasa untuk mengamen, dan juga tidak terlalu banyak saingan dalam mengamen, sehingga membuat Tania tidak terlalu susah untuk mengamen dan tidak terasa diancam.

            Pada suatu saat Tania mengamen dan ia sedang bernyanyi, namun nahas saat Tania bernyanyi di bawah ada paku payung yang jarumnya menghadap ke langit – langit bus, saat itu ia sedang menyanyikan lagu di dalam bus tersebut sembari melangkah ke depan, tak lama ia menginjak paku payung tersebut dan ia terduduk kesakitan. Pada saat ia menekan – nekan paku payung tersebut ia  merasakan ada seseorang yang menegurnya, yaa seseorang menggunakan kemeja biru, Ia mengeluarkan sapu tangan dan membungkus luka tersebut. Tidak lupa memberinya uang agar nantinya bisa dibelikan obat merah. Setelah pulang dari bus tersebut ibu mengganti perban tersebut menjadi kain dan Tania memberikan uang yang telah ia dapatkan. Sejak saat itu nasib mereka mulai berubah.

 

    Keesokan harinya Tania dan Dede melewati rute yang sama dengan rute kemarin, namun dengan kondisi yang berbeda, Tania berjalan dengan kondisi yang sedikit pincang akibat kejadian kemarin. Ia tetap mengamen, walau dengan perasaan yang sedikit takut karena kejadian kemarin, namun hal tersebut harus tetap terjadi untuk mencari sesuap nasi. Pada malam hari mereka bertemu dengan seseorang itu, ia menggunakan pakaian rapi seperti orang baru pulang kantor.

 

   Ia menyapa, Tania sedikit merasa takut, namun lain hal dengan Dede yang sudah antusias melihat dia. Ia juga memberikan sesuatu kepadaku dan Dede, setelahh dibuka ternyata itu adalah sepatu, ya bayangkan saja baju lusuh dengan sepatu dan kaus kaki putih baru. Setelah itu Ia menawarkan untuk mengantarkan mereka berdua pulang dan akhirnya Tania mengatakan iya. Sesampainya dirumah kardus tersebut ibu marah karena mereka membawa orang asing ke rumah, namun mereka menjelaskan kepada ibunya. Ia adalah seorang pekerja kantoran berusia 25 tahun. Namanya Damar.

 

   Sejak saat itu Damar sering mengunjungi kediaman Tania dan Dede. Ia akan mengunjungi kami di setiap Selasa dan Jumat seusai jam kerja. Ia juga membantu kami dengan mengatakan kepada ibu bahwa besok kami akan disekolahkan, ya hal yang sudah aku buang jauh – jauh selama ini. Aku senangnya bukan main dan akan berjanji bahwa aku akan mematuhi orang ini setelah ibuku, apa pun yang dia katakan akan aku patuhi.

Damar juga membantu ibuku dengan biaya, sejak saat bertemu dengan dia kehidupan kami menjadi lebih baik. Bahkan kami bisa pindah ke kontrakan yang jauh lebih baik yang sebelumnya aku hanya belajar dengan lampu tepok, sekarang bisa belajar diatas lampu 40 watt. Tak lupa ia membawakan hadiah untuk Dede, Dede yang ditawari oleh Damar pun mau dan juga Dede menyelesaikan hadiah tersebut dalam kurun waktu 4 bulan.

Kehidupan kami membaik. Karena setiap pagi harus mandi sebelum berangkat sekolah, aku dan adikku sudah tidak kotor dan dekil lagi. Ibu juga membelikan beberapa baju baru (bekas) buat kami. Juga untuk Ibu sendiri yang selama setahun terakhir hanya memakai baju itu-itu saja.

  Dia rajin seminggu dua kali singgah sebentar di kontrakan baru. Membawakan makanan, buku-buku untukku, dan permainan buat adikku. Aku dan Dede selalu menunggu kunjungan tersebut. Duduk di depan kontrakan menatap kelokan gang. Me-nunggu jadwal kedatangannya setiap Selasa dan Jumat malam.

   Berseru senang saat siluet tubuhnya terlihat di ujung gang. Lantas berlari-lari menyambutnya.

Tahukah kalian, dia selalu mencium tangan ibu. Amat hormat pada ibu. Dulu ibu risih sekali. Bagaimana mungkin sescorang yang banyak membantu kami malah mencium tangannya. Tetapi belakangan Ibu terbiasa. "Aku tidak pernah beruntung memiliki ibu!" dia berkan sambil tertawa lebar. Aku dulu tidalk tabu dan tidak peculiap.

Aku dan adiku lebih peduli dengan kesenangan yang datang bersama kunjungannya. Bungkusan dan oleh-oleh yang dibawanya. Juga mendengar cerita dan melihat tertawanya.

Oh ya, meski masih mengamen selepas pulang sekolah, sekarang setiap hari Minggu aku dan Dede libur mengamen. Karena se-tiap hari Minggu dia mengajak kami datang ke rumahnya. Ru-mah itu kontrakan. Jauh lebih besar dan bagus dibandingkan kamar kontrakan kami. Halamannya luas, dan dia tinggal sendi-tian di sana. Kata dia, dulu dia pernah tinggal bersama tiga te-mannya sejak mahasiswa. Sayang ketiga-tiganya sudah menikah dan pindah (satu temannya malah menikah waktu masih ku-liah).

Bukan besar dan bagusnya rumah itu yang membuat aku dan adikku betah, melainkan karena setiap hari Minggu dia membuka kelas mendongeng di rumahnya, di ruangan depan yang dipenuhi jejeran lemari. Lemari itu penuh buku. Setiap Minggu pukul 08.00 ruangan itu selalu ramai oleh anak-anak.

Anak-anak sekitar rumah kontrakannya. Separuhnya kukenali sebagai teman sekolahku sendiri.

Dia bercerita. Membacakan dongeng yang ada di buku atau menceritakan kisah lain secara langsung. Menyenangkan sekali berkumpul dengan anak-anak lain mendengarkan dia bercerita.

Dia amat pandai bercerita, jauh lebih pandai dibandingkan kakek-nenek di kampung waktu mereka masih hidup dan aku kebetulan libur Lebaran di sana dulu.

Danar menjanjikan masa depan cerah. Danar membiayai Tania dan Dede untuk kembali bersekolah. Memberikan modal awal untuk memulai usaha kue. Danar membawa kebahagiaan yang hilang dalam kehidupan Tania dan keluarganya. Danar membawa mereka ke toko buku terbesar di kota itu. Toko buku adalah tempat favorit Tania hingga dewasa.


Tania pun tak melewatkan kesempatan yang diberikan bidadari itu. Tania adalah siswa terpintar di sekolah. Dalam setahun semuanya berjalan dengan baik. Mereka tidak lagi tinggal di rumah kardus, tapi sudah pindah ke rumah kontrakan. Tania menikmati setiap momen bersama Danar. Sebuah kebahagiaan yang tidak dimengerti oleh Tania, sebuah perasaan bahwa seorang anak berumur 13 tahun dengan dua ekor tidak akan mengerti lagi apa itu kebahagiaan.


Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Ini adalah bagian yang paling menguras emosi karena sang ibu meninggalkan Tania dan Dede selama satu setengah tahun kemudian. Pukulan telak bagi Tania yang saat itu berusia 13 tahun dan sedang dalam perjalanan menuju kelulusan sekolah dasar. Saat itu Dede masih belum paham dengan semua kejadian tersebut. Ketika Danar memeluknya hari itu di pemakaman Mama. Tapi Tania mengerti bahwa hidup harus terus berjalan. Tania diterima di sekolah menengah di Singapura dan memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya di sana untuk membuat ibu dan bidadarinya bangga.


Kalian penasaran dengan lanjutan kisah dari Tania? Baca edisi lengkap Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membeci Angin  karya Tere Liye yang bisa anda temukan di Perpustakan SMA Al Hikmah Surabaya.

 

Penulis: Raniah AL-Djufri

Pelajar SMA Al Hikmah Surabaya

 

Komentar