MANOWA DAN PELABUHAN BARUNYA
MANOWA DAN PELABUHAN BARUNYA
Judul Buku : Si Anak Badai
Nama Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Tahun Terbit : 2019
Jumlah Halaman : 322 Halaman
ISBN : 978 – 602 – 5734 – 93 – 9
Debur ombak dan desau
angin saling beradu, menciptakan suasana di pinggir pantai yang temaram dan
sepi. Sekelilingku gelap, hanya ada secercah cahaya dari lentera lentera yang
di pasang kapal kapal yang tengah bertengger di pinggir pantai. Sesekali
terdengar suara kicauan sekelompok burung yang juga beradu kepak dari hilir ke
hulu. Menandakan hari yang hampir usai. Aku melihat sekelompok nelayan yang juga
merupakan tetanggaku ikut menenggerkan kapalnya di pinggir pantai dan mulai
mengangkut jala hasil tangkapan mereka di bantu istri istrinya. Sepertinya
mereka dapat banyak hari ini, pikir ku turut senang.
Sebuah teriakan membuyarkan lamunanku, ternyata itu
adalah ibu yang mengingatkan bahwa hari sudah gelap. Aku segera tersadar, kemudian
kembali melihat sekeliling dan menyadari bahwa teman temanku sudah pamit dan
pulang lebih dulu. Maka aku bergegas memastikan bahwa perahu ku sudah terikat
sempurna di pinggir pantai, dan berlari membawa jaring berisi ikan cakalang
yang aku dapat sewaktu melaut kembali ke rumah.
Namaku Zaenal tetapi
orang orang biasa memanggilku Za, dan aku tinggal di rumah sederhana bersama
kedua orangtua ku dan dua adikku yang bernama Fatahillah dan Thiyah di sebuah
kampung dekat Muara Manowa. Bapak adalah seorang pegawai kecamatan biasa dan
ibu adalah seorang penjahit. Setiap hari selepas pulang sekolah sembari
menunggu bapak pulang dari kota kecamatan, aku dan teman temanku akan menaiki
perahu kecil untuk menangkap ikan cakalang di pinggir muara. Lalu saat hari
mulai petang ibu akan menjemputku yang biasanya lupa waktu dan sibuk bermain bersama
teman temanku di pinggir pantai.
Kadang juga ketika hari Minggu sore atau setiap
tanggal merah libur sekolah aku bersama dengan ketiga temanku, Malim, Ode,
Awang menunggu kapal-kapal dari laut ke arah hulu, atau kapal dari arah hulu
yang berlayar menuju lautan merapat ke dermaga. Ketika kapal melintas, saat itulah
anak kampung Manowa melakukan aksinya, kami akan berenang di samping kapal,
melambaikan tangan ke arah penumpang di atas nya, menunggu mereka melemparkan
uang logam ke bawah, kemudian kami akan berebutan mengambil uang itu.
Contohnya seperti hari
ini, aku dibangunkan oleh suara teriakan kencang orang orang yang berseru “SAMUDRA
JAYA 1990!” Disusul suara klakson kapal. Ode bergegas turut berdiri seraya berusaha
membangunkan aku. “Bersiap Za! Sebentar lagi Samudra Jaya melintas!” Ode sudah
berdiri di pinggir bale tanpa memakai baju. Tubuhnya setengah jongkok, siap
melompat ke sungai. Malim tanpa aba aba malah sudah melompat duluan dan
berenang kearah datangnya kapal.
“Aku tidak ikut, kalian
saja.” Ujarku kemudian menggeliat malas. Benar kau tidak turun?" Ode
memukul bahuku tadi ia hanya mengambil ancang-ancang. Penumpang Samudra Jaya
biasanya sedikit, De. Paling banyak kau hanya dapat seribu." Aku tetap
duduk, menatap ke seberang, ke dermaga kayu dan semak belukar yang tumbuh liar.
Beberapa perahu nelayan ditambatkan di dermaga. Ada kapal kayu Paman Deham yang
sedang libur melaut. Ada juga kapal kayu Paman Rota-bapaknya Malim-yang sedang
diperbaiki.
"Kalau begitu, silakan kau tidur lagi, Za. Jangan
salahkan aku kalau aku lebih kaya daripada kau." Kali ini Ode mengakhiri
perkataannya dengan melompat ke Air terciprat ke mana-mana. Aku menutupi muka
dengan telapak tangan. Di dekat tiang bale, perahu kecilku yang biasa kupakai
menjaring ikan cakalang tertambat bergoyang-goyang. Di dalam air, Ode sudah
menggerakkan kedua tangannya, berenang cepat ke tengah muara, seakan tak mau
kalah cepat dengan Malim. Suara kecipak air juga terdengar dari hulu kami.
Di bale lainnya, anak-anak lainnya macam Sinbad dan
Lombo, sudah ikut terjun. Mereka tidak mau kalah cepat, menambah ramai yang
menghampiri kapal. Saatnya Nakhoda menekan kembali klakson kapal. Anak-anak
mengangkat tangan, bertepuk tangan ketika klakson kapal berbunyi nyaring.
Burung-burung yang hinggap di atas pohon berterbangan. Kini Samudra Jaya 1990 melintas
tepat di depanku. Seperti dugaanku, tidak banyak penumpang yang berdiri di
pinggir geladak utama.
Anak anak kemudian mulai melakukan aksinya, dengan kapal Samudra Jaya
1990 yang terus menuju hulu, mengangkut penumpang sampai ke provinsi, puluhan
mil dari kampung kami. Malim dan yang lain mulai berenang ke tepi. Aku duduk di
tepi bale sambil menjuntaikan kaki. Kemudian aku mengulurkan tangan membantu
Malim dan Ode naik "Banyak dapatnya?" Aku bertanya begitu. Kedua
temanku itu menjawab pertanyaanku. Wajah mereka tidak semangat. Setelah
mengacak-acak rambut yang basah, keduanya langsung duduk di sampingku. Ode
merogoh saku celananya, mengeluarkan dua keping lima ratusan. Malim juga
merogoh saku celana, mengeluarkan tiga keping uang koin, lalu meletakkannya di
lantai bale sambil tersenyum kecut. Tiga-tiganya dua ratusan. Ode mengambil kemejanya
yang digantung di dinding bale. Uang seribu dimasukkan ke dalam kantong kemeja, kemudian dia menggantung
kemejanya kembali. Sedangkan Malim membiarkan uangnya tergeletak. "Kasihan
nakhoda Samudra Jaya. Sebulan ini penumpangnya sedikit." Aku menatap sosok
kapal Samudra Jaya 1990 yang tampak semakin kecil, bersiap menghilang di balik
kelokan sungai. "Kau harusnya lebih kasihan padaku, Za. Kau lihat saku
bajuku, masih belum ada isinya." Malim menunjuk kemejanya yang digantung
di antara kemeja. Aku terkikik mendengarnya.
Belum lama dari melintasnya kapal Samudra jaya 1990,
sebuah kapal kembali melintas. “Oi! Itu ada kapal lagi!” Ode berseru kembali
bersemangat. “Kau benar kawan! Kapal lagi!” Malim juga ikut berseru, kami
bertiga berdiri untuk melihat dengan lebih jelas. Kapal ini lebih bagus dari
Samudra Jaya 1990, juga dua kali lipat lebih besar. “Kalian kenal kapal itu?”
Mataku menyipit. Malim dan Ode kompak menggeleng. Aku bertanya sekali lagi
untuk memastikan “Kalian kenal?” “Tidak tapi itu terlihat hebat.” Balas Ode
acuh tak acuh, kemudian segera melompat kembali berenang ke Muara di susul aku
dan Malim.
Bunyi mesin kapal terdengar nyaring, juga suara air
yang di sibak olehnya. Tak lama kemudian aku sudah berada di dekat kapal yang
melaju, bergabung dengan teman teman yang lain. “MANOWAA!” Ode berteriak sambil
melambaikan tangan. “Manowa Manowaa!” Teman yang lain ikut berteriak penuh
semangat. “PAK BOS!” Salah seorang dari kami mulai berteriak asal menyebut
nama. “Juragan!” Kami membujuk penumpang agar melemparkan uang. Seperti sengaja,
laju kapal sekarang melambat. Penumpang yang berada di atas geladak mulai
melemparkan uang. Kami bersorak. Menyelam saling memperebutkan keping logam. “PAK
HAJI!” Kali ini Malim yang berteriak sambil melambaikan tangan. Penumpang kapal
tertawa, kembali melemparkan uang, lebih banyak dibandingkan yang tadi. Kami
bersorak kegirangan, menyelam lagi untuk berebut uang.
Kami semua tersenyum leba telah
memasukkan uang ke saku celana. Kapal tetap melaju lambat. Kami kompak ber nengejarnya.
Jarang-jarang ada penumpang seroyal Juga kapal sebaik ini yang melambatkan
lajunya. "MANOWAAA!" Giliranku yang berteriak kenca mengalahkan suara
mesin kapal dan air yang tersibak. alian mau uang, anak ingusan?" Dari
atas, berja itar tiga meter dari permukaan air, seseorang da menyibakkan
penumpang yang berjejer memenuhi pin kapal. "Ini ambillah semua,
heh!"' Dia menghamburkan Teman-temanku berteriak heboh. Kami seperti
berada di tengah hujan uang logam. Masih melayang, uang-uang itu memantulkan
sinar matahari, berkilauan. Aku sendiri tertegun.
Itulah sekilas keseharian kami
sebagai penduduk kampung Muara Manowa. Mengumpulkan uang logam dari penumpang
kapal hanyalah salah satunya. Kami hidup serba sederhana namun penuh makna.
Kehidupan di kampung
kecil kami awalnya baik baik saja, semua berlangsung aman dan tentram sampai
suatu hari datang utusan yang mengaku dari provinsi membawa kabar bahwa akan
dibangun sebuah pelabuhan di Muara Manowa. Utusan tersebut mengklaim bahwa
pembangunan pelabuhan tersebut demi kebaikan dan kemajuan Muara Manowa. Warga
kampung jelas menolak, Mereka menganggap bahwa pembangunan pelabuhan tersebut
belum dirasa perlu dan malah akan membuat mata pencaharian warga hilang. Mereka
tetap keras menentang meskipun sang utusan tersebut sudah memberikan
iming-iming bahwa akan dibangun tempat tinggal baru bagi warga yang terdampak.
Salah seorang yang menyuarakan penolakan paling keras adalah pak kapten,
sesepuh kampung kami.
Geram karena usulannya
di tolak, sang utusan tersebut pergi dan kemudian kembali dengan surat perintah
penangkapan terhadap pak kapten, kali ini beliau tidak datang sendiri,
melainkan bersama seseorang yang mengaku utusan gubernur. Entah atas dasar apa,
sepertinya berkaitan dengan masa lalu pak kapten. Situasi di kampung semakin
runyam setelah beliau di tangkap, orang orang utusan provinsi makin gencar
untuk memulai pembangunan pelabuhan. sekolah yang ada di kampung kami satu
satunya di robohkan, membuat sebagian besar anak harus berhenti sekolah. Para
murid mulai menyuarakan keresahannya, begitu juga dengan para orang tua.
Rasanya seperti mimpi kami direnggut begitu saja.
Kepala camat pun tak dapat berbuat banyak, karena itu adalah perintah orang
orang atas. Namun aku dan ketiga temanku tidak akan tinggal diam. Kami akan
berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan kampung kami dan membebaskan pak
kapten dari tuduhan tidak benar.
Apakah Za dan ketiga
temannya berhasil menyelamatkan kampung mereka? Baca kelanjutannya dalam buku
Si Anak Badai karya Tere Liye yang bisa anda temukan di perpustakaan SMA
Al-Hikmah Surabaya
Penulis: Ayesha Mahira Gahan
Pelajar SMA Al Hikmah Surabaya
Si Zaenal yang biasa dipanggil Za, tinggal di sebuah kampung yang dekat dengan Muara Manowa. Setiap sepulang sekolah ia akan menaiki perahu kecil untuk menangkap ikan cakalang di pinggir muara bersama teman-temannya. Kadang saat tanggal merah ia bersama tiga temannya menunggu kapal dari laut ke arah hulu.
BalasHapusKetika kapal melintas, saat itulah anak kampung Manowa melakukan aksinya yakni mengambil uang logam yang dilempar oleh para penumpang kapal. Kehidupan di kampung Manowa awalnya baik baik saja akan tetapi, terdapat utusan yang mengklaim mengenai pembangunan pelabuhan di Muara Manowa. Namun, para warga kurang setuju dengan utusan tersebut. Sehingga Pak Kapten sebagai sesepuh menyuarakan penolakannya. Sang utusan pergi dan kembali dengan surat penangkapan pak kapten. Situasi di kampung semakin runyam. Karena sudah mulainya pembangunan pelabuhan. Sekolah di kampung pun harus dirobohkan dan sekolah pun diberhentikan. Hal ini membuat Za dan teman temannya merasa kesal dan ingin menyelamatkan kampung mereka.
Hal ini dapat ditemukan di bab 1 buku "Si Anak Badai". Buku ini merupakan buku novel karangan Tere Liye. Tere Liye mampu menuangkan ide dalam cerita dengan sarat pesan moral. Setiap kalimat yang dituangkan pada cerita novel ini, dapat memudahkan pembaca dalam membayangkan setiap kejadian-kejadian yang terjadi. Karena novel ini dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca. Dan membuat pembaca tertarik untuk membaca kelanjutannya.
Kekurangan dari novel ini terlalu bertele-tele dalam menceritakan suatu kejadian yang padahal kejadian tersebut sudah dapat ditebak alur selanjutnya oleh pembaca. Sehingga pembaca juga dapat merasa bosan ketika membacanya. Tokoh yang berperan sebagai sangat utusan sangatlah egois, sehingga dapat membuat pembaca merasa geram akan cerita selanjutnya yang menggantung.
Novel ini sebaiknya diceritakan dengan alur yang tidak terbelit belit, sehingga pembaca tidak merasa bosan dan konflik yang terjadi tidak menggantung di tengah tengah cerita. Novel ini sangat menarik dan memiliki kisah yang sangat mengesankan bagi para pembacanya.
Kritik: Sabrina Aulia Nisa/20